Search

Dari Rennes hingga Jakarta, Vira Talisa Menggali Makna Musik

Vira Talisa Dharmawan seperti menghadirkan sentuhan magis lewat gaya bermusik vintage. Album mini self-titled dirilis tepat pada 2 Desember 2016 berisi lima konten lagu. Perkenalan pamungkas dimulai dari singel If I See You Tomorrow dan Walking Back Home. Perlahan tapi pasti, nama Vira jadi pilihan baru pecinta musik Indonesia.

Lagu-lagu besutan Vira memang terdengar segmentif, dia hanya merilis lagu dalam bahasa Inggris. Tapi bukan berarti musisi kelahiran 9 Agustus 1993 itu enggan mengeksplorasi bahasa ibu. Belum lama ini Vira merilis singel berbahasa Indonesia dengan judul Janji Wibawa.

Vira memiliki latar belakang pendidikan Visual Art yang ditempuhnya selama empat tahun di Universite Rennes 2, Perancis. Setelah lulus, baru Vira mulai serius terjun ke industri musik. Jangan dulu berasumsi empat tahun terlampau sia-sia untuk Vira Talisa yang akhirnya menempuh jalur musik. Sekelumit cerita dan ragam motif rupanya mendasari Vira untuk memilih musik ketimbang serius berkarier di industri yang telah dipelajari secara teoritis di negeri orang.

Pada sebuah siang di bulan Agustus, kami mendapat kesempatan untuk mengenal Vira lebih dalam. Seperti karyanya, pribadi Vira juga memiliki pesona tersendiri.


Vira Talisa saat tampil dalam Soundsproject 2018 (Foto: Dok. Vira Talisa)

Muncul di akhir 2016 dengan album mini self-titled. Perkenalan dimulai justru dengan lirik lagu menggunakan bahasa Inggris. Sejak kapan Vira Talisa benar-benar tekun di dunia musik?

Tekun, bisa dibilang dari akhir 2016. Sejak aku lulus kuliah mulai rekaman. Sebelumnya memang hobi aja sih. Iseng-iseng rekam. Dulu zaman-zamannya Soundcloud bisa mandiri rekam di situ, bikin lagu di situ. Cuma benar-benar ditekuni sebagai profesional akhir 2016.

Setelah lulus jeda dikit aku sempat magang. Aku lulus April, dari April ke Agustus produksi rekaman, latihan dan lain-lain. Jadi anak magang part time mengerjakan musik.

September akhir aku pulang ke Indonesia. Dulu aku sempat di Perancis (studi). Pas pulang baru lumayan fokus promo.

Studi selama empat tahun mengambil jurusan Visual Art di Prancis, kenapa bisa pindah jalur menekuni dunia musik?

Kalau dipikir-pikir aku juga dulu (heran) kenapa bisa belok ya. Pas dipikir-pikir, nyambung-nyambung juga sih. Soalnya dulu aku ambil seni general banget. Walaupun aku ambil fokusnya visual, kami belajar juga literature, film, komponen di film, which is ada musik. Intinya kuliah itu lumayan membantu aku ke sini. Mengasah kepekaan dan sensibilitas di seni.

Dari dulu senangnya memang musik. Visual suka, cuma kalau bete pasti main musik, nyanyi. Jadi, itu yang aku suka. Plus memang ada dibantu dari kuliah secara enggak sengaja. Yang paling enak menurut aku dikerjakan ini, jodoh kali ya.

Apa keputusan menekuni musik ada pengaruh dari pergaulan kamu ketika berada di Perancis?

Ada banget. Cuma pergaulanku itu didasari dengan kesenanganku. Kayaknya aku end up sama orang-orang kayak gini karena memang senang dari sananya. Aku ketemu orang-orang ini bukan dari kampus, random banget. Aku ketemu teman-teman yang main musik di sana, kayak suatu malam aku bosan terus keluar lagi ada konser. Akhirnya dari malam itu langsung stay sama orang-orang itu terus. Pergi konser bareng dan segala macam.

Apakah musik retro/french-pop cukup memberi pengaruh terhadap musikalitas Vira saat ini?

Ada banget, justru kebentuk banget waktu aku di sana. Sebenarnya aku dari dulu suka dengerin retro cuma belum yang ke Perancis nih. Jadi memang suka dengerin seperti The Beach Boys, solois-solois cewek, jazz tahun 50-an aku suka. Soundtrack-soundtrack film Disney zaman dulu kayak Mickey Mouse. Broadway tapi lebih pop, cute-nya gitu.

Pas aku lihat, ketemu orang-orang ini dikasih referensi musik retro pop Perancis kayak klik banget dan suka banget. Walaupun lagu-lagu aku bahasa Inggris justru feel-nya dapat dari situ.

Musik seperti apa yang menjadi referensi Vira dan cukup memberi pengaruh pada musikalitas Vira?

Macam-macam. Aku lebih suka musik di film, soundtrack seperti di tahun 30-an juga suka. Kayak lagu-lagu Singing in the Rain. Yang paling ngena dari 60-an, film-filmnya (Jean-Luc) Godard. Agak-agak rock and roll, pop, tapi manis. Jadi sebenarnya luas, karena musik film enggak terpaku dalam satu genre. Kalau ngomongin genre enggak luas juga di dalam area ini. Ada macam-macam pop bossa nova, jazz, cuma komponen garis besar, benang merah filmnya di musik untuk film.

Bisa dikatakan inspirasi kamu bermusik juga dari soundtrack film?

Kayaknya iya ya, dari zaman-zaman Disney, Godard. Zaman dulu.

Lalu kenapa saat berkuliah di Perancis, Vira Talisa tidak mengambil studi formal di bidang musik?

Justru karena musik itu dulu sebagai pelarian ya. Aku kalau bosan main musik, enggak pengin jadi fokus. Art juga sebenarnya dulu hobi. Dulu aku enggak pingin ambil jurusan yang adalah hobiku karena takut nanti kalau diseriusin jadi kesal. Sekarang aku, akhirnya ketika buat melukis visual art rasanya kerja, mikir banget karena udah tahu teori dan banyak hal. Aku sebenarnya enggak pengin merusak musik dengan cara itu. Mungkin ada orang yang justru dimaksimalkan dengan cara itu. Kalau aku itu kayak udah capek. Sebenarnya masih bikin musik untuk lebih ke pelarian. Musik Enggak terlalu fokus banget sih, ada senang-senangnya lah.

Ketika menekuni musik setelah studi empat tahun di Prancis, bagaimana respons orangtua Vira Talisa?

Responsnya agak kaget. Mungkin baru jalan sebentar dan enggak kelihatan apakah serius atau enggak. Mereka masih kayak ‘kamu cari kerja yang sesuai’. Cuma aku tetap bersikukuh jalanin musik. At the same time, aku ngantor juga di Jakarta, diladenin dikit lah. Setahun jalan, kantor kayak bukan buat aku. Orangtua lihat dari situ mungkin memang lebih maksimal di musik, yaudah sekarang musik aja.


Vira Talisa dalam wawancara dengan Medcom.id, awal Agustus 2018 (Foto: Medcom.id/Cecylia Rura)

Bagaiamana Vira Talisa menerjemahkan makna passion itu sendiri?

Sesuatu yang mendorong kita. Itu enggak dipikirkan, kita bisa semangat, ada energi, karena passion. Menurutku untuk mencari sesuatu enggak bisa didasarkan dengan passion doang. Passion di musik, itu buat membangun. Passion itu penting, cuma untuk menyeimbangkan itu semua harus dikelola dengan baik. Itu penting untuk memulai semuanya.

Secara tidak langsung Vira mendapat dukungan dari keluarga untuk berkecimpung di musik, apakah keluarga Vira juga cukup dekat dengan dunia musik?

Nenek aku sepupunya Eyang Titiek Puspa. Sebenarnya aku enggak terlalu dekat sama beliau. Beberapa kali bertemu. Generasi eyangku yang cowok main musik, kakaknya eyangku yang cewek selalu main Everly Brothers, The Beatles. Eyang Ti aku juga main musik sama nyanyi. Dari orangtua enggak sama sekali. Cuma dari ayahku dulu main keyboard.

Siapa panutan Vira Talisa dalam bermusik?

Ada dua aspek, satu musiknya lebih ke persona sebagai messenger yang membawa musik itu, penyanyinya.

Pertama, kalau musik aku suka banget Brian Wilson dari The Beach Boys. Soalnya awal-awal The Beach Boys ceritanya band yang nge-hits banget. Istilahnya seperti sekarang Top 40 yang benar-benar nendang. Cuma Brian Wilson merasa enggak pingin mengikuti band eksis sesuai zaman terus (saat itu). Terus berani ekslpore, ngotak-ngatik bikin musik yang bukan zaman itu. Pokoknya lagu-lagu yang enggak di zaman itu. Bikin sound baru, lagu yang enggak aman. Cuma dia berhasil mendobrak dengan satu album namanya Pet Sounds sampai Paul McCartney suka dan terinspirasi bikin Rubber Soul karena mendengarkan Pet Sounds.

Dia sebenarnya sudah nyaman dengan jenjang karier Top 40 lalu membuat soul baru. Akhirnya dia bisa menemukan kemampuan yang lebih dari band dia dengan berani mengerjakan ini.

Kedua, kalau dari persona, aku juga lumayan mikir menjadi penyanyi. Kalau misalkan penyanyi cuma nyanyi doang kurang, harus memikirkan juga membawakan lagu dan lain-lain. Musik dan lagu, lirik udah ada. Cuma kalau yang membawakan salah, salah.

Aku suka banget Francoise Hardy, penyanyi Prancis. Dia bisa meyampaikan emosi lagu dengan tepat. Lirik apa, musiknya seperti apa. Cerita bisa, sedih bisa. Rasanya simpel dan effortless. Enggak yang teknik atau skillful. Menurutku dia efektif membawakan lagu.

Karakter musik Vira Talisa ke depan akan terus memperlihatkan karakter bermusik retro dengan pengaruh french-pop?

Kayaknya enggak bakal hilang. Soalnya dibuktikan dari kecil sengaja enggak sengaja yang keluar gitu. Eksplorasi genre masih benar-benar menggali, mencoba keluar dari zona nyaman.

Siapa musisi yang paling ingin Vira ajak berkolaborasi di atas panggung?

Mondo Gascaro. Banyak sih. Soalnya sekarang banyak yang bagus-bagus, juga baru-baru. Bahkan yang lama-lama.

Dulu aku sempat kepikiran ingin berkolaborasi sama "geng-nya" Om Guruh Soekarno Putra. Dia sering bikin lagu buat orang-orang. Ada satu judul lagu Nostalgia Hotel Des Indes, itu yang nyanyi Om Djayusman. Suaranya bagus banget, kayak udah enggak bisa menemukan suara kayak gitu. Ngomong aja ada karakternya banget. Nyanyinya kayak, orang menyanyikan lagu dia itu enggak bisa sama. Aku pernah propose (nyanyi bareng) terus dia bilang sudah enggak menyanyi lagi karena dia cuma nyanyi buat satu lagu Om Guruh setelah itu enggak bikin lagu.

Vira Talisa menganggap musik sebagai pelarian rasa penat. Apakah karya musik yang dihasilkan sebagai bentuk alter ego (sisi lain) diri Vira Talisa atau justru sebaliknya?

Enggak sama sekali. Mungkin kalau aku menyanyi doang bisa seperti itu (menunjukkan sisi berbeda). Tapi, kalau aku bikin lirik, musik dan lagu sendiri itu udah bentuk terjujur seseorang. Kayak menulis lirik jam satu pagi, merasa sedih. Kayak aku cerita ke pacar, merilis lagu yang didengarkan banyak orang. Kayaknya kalau orang sudah menulis lirik itu sudah hal terjujur.

Kapan momen terbaik bagi Vira Talisa untuk menulis lirik?

Kalau lagi happy paling susah menulis lirik. Tantangan terbesar aku menulis lagu happy karena buat aku, bikin lagu sedih lebih gampang daripada bikin lagu senang yang cheesy. Momen paling pas saat sedih banget palagi pas bertengkar sama semua orang.

Bagaimana Vira melihat pasar musik hari ini, dikaitkan dengan genre yang Vira usung - yang mungkin saja masih belum banyak didengar oleh penggemar musik di Indonesia?

Triknya di situ. Kalau di sini orang mengikuti tren, aku coba memasukkan elemen (pop) dikit-dikit, biar orang yang tadinya enggak mendengarkan musik aku jadi mau mencoba mendengarkan. Aku coba dengan memasukkan bahasa Indonesia. Aku sebelumnya belum pernah bikin lirik bahasa Indonesia. Kemarin aku bikin singel bahasa Indonesia (Janji Wibawa). Ngetes aja nih, pertama mau ngetes kemampuan mulis lirik bahasa Indonesia aku. Ternyata dengan bahasa Indonesia banyak kata yang bisa digali. Seru banget, aku baru tahu dengan coba keluar dari zona nyaman. Ada orang-orang yang sebelumnya belum dengar musikku, mereka jadi tertarik mendengarkan. Tanpa menghilangkan karakter musik aku, itu yang lagi pingin aku coba ke depan. Cuma enggak bakal berubah tiba-tiba Melayu. Yang pasti bakal memasukkan sedikit elemen-elemen dan segmen lain mungkin familiar tapi tetap membawa musik aku ke mereka.

(ASA)

Let's block ads! (Why?)

http://hiburan.metrotvnews.com//indis/PNgenwAk-dari-rennes-hingga-jakarta-vira-talisa-menggali-makna-musik

Bagikan Berita Ini

0 Response to " Dari Rennes hingga Jakarta, Vira Talisa Menggali Makna Musik "

Post a Comment

Powered by Blogger.