Turnamen tenis US Open telah dilanda kontroversi anggapan seksisme di lapangan, setelah petenis Alize Cornet dinilai melanggar kode etik karena mengganti bajunya di babak pembukaannya melawan Johanna Larsson.
Ketika perempuan Perancis itu kembali ke lapangan setelah jeda akibat panas yang diinduksi secara medis, petenis berusia 28 tahun ini tak menyadari bahwa ia secara tak sengaja berganti pakaian.
Cornet memprotes wasit tentang lamanya waktu yang dibutuhkan untuk berjalan kembali dari zona istirahat yang dialokasikan ke lapangan 13.
Setelah meletakkan tasnya, ia melangkah ke area teduh di belakang lapangan, meletakkan raketnya di antara kedua kakinya, membalikkan punggungnya membelakangi lawan dan penonton serta dengan cepat mengangkat bagian atas pakaianya, memperlihatkan bra olahraga hitam dan merah dengan cepat.
Tak lama setelah ia kembali ke tempatnya, wasit Christian Rask menjatuhi ia hukuman penalti.
Komentator dan media sosial dengan cepat mengecam penalti tersebut.
Di antara mereka yang menyuarakan kekecewaan adalah Judy Murray, ibu dari mantan juara US Open, Andy Murray.
Walau secara teknis Cornet telah melakukan "perilaku tidak sportif", Murray dan petenis lainnya dengan cepat menunjukkan standar ganda yang ada dalam olahraga.
Pemain pria secara teratur mengganti baju mereka di ujung permainan, dengan izin wasit sembari duduk di kursi mereka.
Cornet telah mengamati aturan WTA dalam contoh pertama dan mengganti kemejanya di dalam ruang ganti yang lebih menekankan privasi.
Dengan suhu mencapai 40-an, di lapangan -yang mendorong adanya istirahat karena panas di kedua pertandingan laki-laki dan perempuan - kebutuhan akan pakaian segar selama pertandingan telah diucapkan di Flushing Meadows di babak pembukaan.
Unggulan ke-enam di daftar petenis, yakni Novak Djokovic, memiliki fasilitas serupa banjir es krim di lapangan, dengan izin penggantian baju, sementara pemain perempuan terkemuka di dunia didesak untuk mengikuti aturan yang berbeda.
Panduan aturan WTA 2018 menyatakan bahwa perubahan pakaian yang disetujui secara medis oleh pemain perempuan harus dilakukan di luar pengadilan di "lokasi paling pribadi".
Tenis telah memicu gerakan untuk meningkatkan standar kesetaraan dalam beberapa dekade terakhir. Pada tahun 2007, Wimbledon menjadi stadion utama terakhir yang memperkenalkan paritas pembayaran untuk perempuan.
Namun, para pejabat tetap berurusan dengan kritik terkait dengan perlakuan mereka terhadap perempuan.
Awal bulan ini Presiden Asosiasi Tenis Perancis, yang menggelar turnamen French Open, Bernard Giudicelli, mengumumkan ia melarang pakaian populer ‘catsuit’ yang ketat milik Serena Williams.
Williams mengatakan ia memakainya untuk menginspirasi para ibu dan membuatnya merasa seperti "seorang prajurit" dan "pahlawan super".
Setelah menderita komplikasi saat melahirkan termasuk penggumpalan darah yang berbahaya, pakaian itu sebagian dirancang untuk membantu sirkulasi darah.
Meski demikian, Giudicelli, mengatakan pakaian olahraga itu "terlalu berlebihan," dan bahwa lebih banyak "rasa hormat" perlu dikembangkan di dunia olahraga.
Pemain berusia 60 tahun itu juga seorang anggota dewan Federasi Tenis Internasional.
Williams menjawab kritik dengan gaya yang tak ada bandingannya, memposting sebuah foto ke Instagram menunjukkan ia mengenakan rok tutu hitam di US Open dan memuji perancangnya.
Perdebatan berlanjut dari beberapa sudut pandang tentang fakta bahwa pemain pria bermain hingga lima set di turnamen utama, sementara pertandingan petenis perempuan tetap terbatas hingga tiga set.
Insiden seperti menghukum Cornet karena tindakan yang tampaknya tidak berbahaya dan tidak kontroversial karena mengganti pakaiannya tidak begitu meyakinkan para atlet perempuan bahwa mereka diperlakukan secara adil dibandingkan dengan rekan-rekan pria mereka.
Simak berita ini dalam bahasa Inggris di sini.
https://www.jpnn.com/news/ganti-baju-di-lapangan-petenis-perempuan-dinilai-langgar-kode-etikBagikan Berita Ini
0 Response to "Ganti Baju di Lapangan, Petenis Perempuan Dinilai Langgar Kode Etik"
Post a Comment